Oleh : Kyai Sumarsam
Sumber gambar : Tirto.id |
(Bagian Pertama)
=========
1. Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
Sebelum dibahas perbuatan apa saja yang membatalkan puasa, ada beberapa catatan penting yang telah digariskan oleh para ulama, berangkat dari berbagai macam dalil yang mereka terima.
Catatan penting itu terkait dengan perbuatan seseorang yang sekiranya dapat membatalkan puasa, namun keadaan, niat atau motivasinya bisa saja berbeda-beda. Bisa karena sengaja, lupa, kesalahan, atau karena ada udzur yang membolehkannya membatalkan puasa. Sehingga setidaknya ada empat kasus yang berbeda dalam hal ini, yaitu:
a. Melakukan Hal Yang Membatalkan Puasa Karena Lupa
Kasus yang pertama adalah kasus dimana seseorang yang sedang berpuasa, melakukan hal-hal yang normalnya bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum, bahkan termasuk melakukan hubungan seksual dengan istri, namun semua itu terjadi akibat semata-mata lupa. Maka lupa itu tidak membatalkan puasanya, pelakunya dimaafkan, bahkan menjadi rejeki tersendiri dari Allah swt. Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra: Nabi SAW bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ» (رواه الحاكم والبيهقي والدارقطني)
Dari Abu Hurairah: Nabi SAW bersabda: “Siapa saja yang berbuka pada saat berpuasa Ramadhan karena lupa, tidak ada keharusan atasnya untuk mengqadha‘ atau membayar kafarah (puasanya tetap sah).” (HR. Daruquthuny, Baihaqi, Hakim)
Bersambung pada postingan yang akan datang
(Bagian Ke Dua)
==========
b. Melakukan Hal Yang Membatalkan Puasa Karena Salah
Kasus kedua adalah orang puasa dan melakukan hal-hal yang lazimnya membatalkan puasa, namun penyebabnya bukan karena lupa, tetapi karena dia salah dalam mengira waktu.
Seperti seseorang yang mengira matahari sudah terbenam, lalu dia makan atau minum, padahal matahari belum terbenam. Atau seseorang yang masih saja makan dan minum karena menyangka hari masih malam, padahal ternyata matahari sudah terbit.
Hanya saja, apakah puasanya batal atau tidak, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa yang mengalami kondisi ini tidaklah berdosa.
Mazhab Pertama: Puasanya Batal.
Mayoritas ulama, di antaranya pendapat resmi empat mazhab sepakat bahwa puasanya batal. Dan karenanya, puasa tersebut harus diqadha’ di hari yang lain. Di samping itu, diwajibkan pula atasnya untuk berimsak, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang hukumnya membatalkan puasa sampai Maghrib, meski hitungannya bukan sebagai ibadah puasa.
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, satu riwayat dari imam Ahmad, Mazhab Zhahiri, al-Muzani dari Syafi’iyyah, dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa puasanya tidaklah batal. Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang menilai sah ibadah karena sebab kekeliruan, seperti:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَاتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ ... (الأحزاب: 5).
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al-Ahzab: 5)
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: «أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ» وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah, dari Fathimah, dari Asma' binti Abu Bakar ash-Shiddiq ra, ia berkata: Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi ﷺ ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali, maka orang-orang diperintahkan untuk mengqadha'nya, dan Beliau bersabda: “Harus dilaksanakan qadha'”. Dan Ma'mar berkata: aku mendengar [Hisyam]: Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqadha'nya atau tidak.” (HR. Bukhari)
=========
BERSAMBUNG >>>>>>
0 Komentar
Terimakasih sudah mengirimkan pesan kepada kami